TASAWUF
PADA MASA SAHABAT TERPILIH
Makalah ini disusun
guna memenuhi tugas :
Mata Kuliah : Ilmu
Tasawuf
Dosen Pengampu : Drs.
H. Ismail, M.Ag
Disusun Oleh :
Kharisma Hanum (2023214421)
Kelas : M
PROGRAM STUDI PGMI
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI ( STAIN )
PEKALONGAN
2015
BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar
Belakang
Sebenarnya
kehidupan sufi sudah terdapat pada diri Nabi Muhammad SAW. Dimana dalam sebuah
kehidupan beliau sehari-hari terkesan amat sederhana dan menderita, di samping
menghabiskan waktunya untuk beribadah dan selalu mendekatkan diri kepada Allah
SWT. Bahkan seperti diketahui, bahwa sebelum beliau diangkat sebagai Rasul
Allah, beliau sering kali melakukan kegiatan sufi dengan melakukan uzlah di Gua
Hira selama berbulan-bulan lamanya sampai beliau menerima wahyu pertama saaat
diangkat sebagai Rasul Allah.
Setelah
beliau resmi diangkat sebagai Nabi utusan Allah, keadaan dan cara hidup beliau
masih ditandai oleh jiwa dan suasana kerakyatan, meskipun beliau berada dalam
lingkaran keadaan hidup dapat terpenuhi semua keinginan lantaran kekuasaannya
sebagai Nabi yang menjadi kekasih Tuhannya.
Kehidupan
Nabi semacam itu langsung ditiru oleh sahabatnya, Tabi’in dan terus
turun-temurun sampai sekarang. Hal seperti itu tampak dalam kehidupan para
sahabat beliau, semisal Khalifah Ar-Rasyidin, Abu Hurayrah, dan Salman
Al-Farisi.
2.
Rumusan
Masalah
a.
Bagaimana Tasawuf
pada masa Khalifah Ar-Rasyidin?
b.
Bagaimana Tasawuf
pada masa Abu Hurayrah?
c.
Bagaimana Tasawuf
pada masa Salman Al-Farisi?
3.
Tujuan
a.
Dapat memahami
Tasawuf pada masa Khalifah Ar-Rasyidin.
b.
Dapat memahami
Tasawuf pada masa Abu Hurayrah.
c.
Dapat memahami
Tasawuf pada masa Salman Al-Farisi.
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Tasawuf
Pada Masa Khulafa Ur-Rasyidin
Khulafa Ur-Rasyidin
atau Khalifah Ar-Rasyidin adalah empat orang khalifah (pemimpin) pertama agama Islam,
yang dipercaya oleh umat Islam sebagai penerus kepemimpinan setelah Nabi Muhammad wafat. Empat orang tersebut,
yaitu:
a.
Tasawuf Abu Bakar
Al-Siddiq
Khalifah Abu Bakar
adalah yang pertama kali memberikan contoh perilaku Tasawuf kepada ahli Tarekat
dengan mengatakan, bahwa ada tiga macam perilaku manusia yang sangat
bertentangan dengan anjuran Al-Qur’an:[1]
1.
Manusia kurang
mempercayai ketentuan Allah, padahal Al-Qur’an sendiri menyerukan agar manusia
harus bertawakkal, dengan cara menyerahkan segala persoalan kepada Allah,
sebagaimana keterangan dalam Q.S Yunus ayat 107.
2.
Manusia selalu lupa
mengingat Allah dan lupa mensyukuri nikmat-Nya, padahal Al-Qur’an sendiri
menyerukan agar manusia selalu mengingat dan mensyukuri-Nya, sebagaimana
keterangan dalam Q.S Al-Baqarah ayat 152.
3.
Manusia selalu
bingung mencari rizki siang dan malam, karena mereka melupakan bahwa Allah
sendiri yang menanggung rizki seluruh makhluk-Nya, padahal Al-Qur’an sendiri
menyampaikan sebagaiman didalam Q.S Hud ayat 6.
Abu Bakar setelah
diangkat menjadi khalifah sebagai pengganti Nabi Muhammad dalam memimpin Negara
Madinah, ia meninggalkan perdagangannya, agar dapat memusatkan perhatian pada
kepentingan umat Islam. Sungguhpun telh menjadi kepala Negara, ia hidup sederhana.
Para sahabat mengeluarkan uang dari Baitul Maal untuk keperluan hidupnya
sekeluarga. Ketika akan wafat, ia meminta supaya harta yang dikeluarkan dari
Baitul Maal untuk sekeluarganya itu dikembalikan.[2]
Ia juga sering
menyanjung sikap hidup Nabi Zakariya dengan keluarganya, yang dipandangnya
sebagai keluarga yang sangat baik perlakuannya terhadap sesama manusia dan
sangat dekat dengan Tuhan-nya. Mereka juga termasuk keluarga yang selalu
berdo’a dengan harap dan cemas serta sangat khusyu’ ketika beribadah.
Pernyataan ini didasarkan pada keterangan dalam surah al-Anbiya’ ayat 90.
Banyak ungkapan Abu
Bakar yang menandai dirinya sebagai sorang sufi dan wali besar, ia berkata :
Sesungguhnya hamba yang sedang membanggakan
kelebihan dunia (harta bendanya), maka Allah pasti membencinya, hingga harta
benda itu berpisah dengannya.
Ia juga mengingatkan
kepada umat Islam dengan mengatakan :
Tiada kebaikan pada perkataan yang didalamnya tidak
dikehendaki keridaan Allah, tiada kebaikan pada harta yang tidak dibelanjakan
di jalan Allah, tiada kebaikn pada orang yang kebodohannya dapat mengalahkan
kesabarannya dan tiada kebaikan bagi orang yang takut pada Allah, tetapi ia
masih sering mencela orang lain.
Kemudian berkata lagi
:
Maha Zuci Zat yang tidak menjadikan jalan bagi
makhluk untuk mengenal-Nya, kecuali (hamba) mengalami ketidak-berdayaan ketika
bertemu dengan-Nya.[3]
b.
Tasawuf Umar bin
Khattab
Umar bin Khattab
adalah khalifah yang mengalahkan kerajaan Bizantium dalam peperangan di Mesir,
Palestina, Suria, dan Irak. Dia menghancurkan kerajaan Persia sehingga
menjadikan Madinah yang semula Negara kecil menjadi Negara besar yang disegani
Bizantium. Sungguhpun ia telah menjadi kepala Negara besar, ia tetap hidup
sederhana dan zahid dari kemewahan hidup.[4]
Umar juga sangat
memperhatikan anjuran beberapa ayat Al-Qur’an mengenai larangan terlalu
mencintai kehidupan dunia, dan selalu mempraktekkan ajaran tersebut dalam
kehidupan sehari-harinya. Hafsah (putri Umar bin Khattab) sering menceritakan
sikap tawadu’ dan kesederhanaan hidup ayahnya, dan menceritakan pula bahwa ia
sering duduk sendirian menangis, karena sering mengingat masa lalunya yang
penuh dengan kejahilan, sehingga selalu terlontar dari mulutnya kalimat
istighfar sepanjang hari dan malam. Sebagai seorang sufi dan wali besar, ia
selalu melakukan shalat malam hingga menjelang waktu subuh. Dan selalu
membangunkan keluarganya untuk melakukan shalat subuh tepat waktu, dengan
mengucapkan al-salah, al-salah, al-salah, kemudian membaca ayat 132 dari
Surah Taha.
Sebagai seorang
kepala pemerintahan, ia sangat sibuk mengurusi nasib masyarakat, dan sebagai
pimpinan agama, sibuk memperhatikan pengembangan agama Islam yang masih sering
mendapatkan ancaman dari orang Yahudi dan Nasrani, tetapi kehidupan
spiritualnya tetap ia malkan, sehingga di siang hari sibuk bekerja untuk
kepentingan masyarakat dan agama, tetapi di malam hari tetap menjalankan shalat
sunnah sepanjang malam. Maka Umar termasuk salah seorang sahabat yang dijuluki
sebagai fursanu al-nahar wa-ruhbanu al-lail (penunggang kuda di siang
hari dan penyembah yang khusu’ di malam hari).
Ia juga selalu
menganjurkan, agar manusia tidak boleh lengah dan harus selalu waspada terhadap
kemungkinan pengaruh yang akan menjadikan dirinya lupa terhadap Allah, harus
selalu mawas diri dan mampu mengevaluasi amalan yang pernah dilakukannya.
Umar bin Khattab
berkata :
Evaluasilah dirimu sebelum engkau diperiksa (di hari
kiamat), timbanglah amalanmu sebelum ditimbang (di hari kiamat). Bahwasanya
dengan cara demikian, akan lebih mudah menghitung amalanmu di hari kiamat dari
pada menghitung amalanmu pada hari ini.[5]
c.
Tasawuf Uthman bin
Affan
Uthman merupakan
salah seorang sahabat penyandang dana bagi seluruh pembiayaan pengembangan
Islam di Madinah, termasuk sering memberikan bantuan dana kepada prajurit yang
akan dikirim ke medan perang. Ia sering mengatakan, “aku telah mengumpulkan
harta, bukan karena aku ingin memperkaya diriku, tetapi semata-mata karena
Islam sangat membutuhkannya dan aku berkewajiban memberikan infaq kepada kepentingan
agama, dan kurasakan pula kenikmatan batin di setiap aku telah membelanjakan
harta tersebut di jalan Allah.
Sebagai seorang Sufi
dan wali besar, ia tidak pernah menghitung berapa banyak harta yang
dikeluarkannya untuk agama dan masyarakat. Karena harta tersebut, dianggap
milik Allah, dan akan dikembalikan ke jalan Allah. Zuhudnya bukan meninggalkan
harta benda, tetapi meninggalkan pengaruh negative dari pemilikan harta benda
tersebut; misalnya meninggalkan kesombongan akibat dari pengaruh harta benda,
meninggalkan kekikiran dan meninggalkan kemubazziran dan sebagainya.
Uthman sering
menangis bila sedang membaca Al-Qur’an atau mendengarkan dibaca, sampai sahabat
lain sering melihat air matanya bercucuran menetes melalui jenggotnya yang
lebat. Begitu juga bila berjalan melalui pekuburan, ia tidak bisa menahan air
matanya, karena selalu membayangkan betapa menakutkannya kehidupan di Padang
Makhsyar nanti.
Ia juga sangat dalam
rasa tawakkalnya, dan tidak pernah merasa takut kepada siapapun kecuali terhadap
Allah. Ketika disandera oleh penentangnya selama 49 hari dirumahnya, ia tidak
pernah merasa takut sedikitpun. Ia masih tetap beribadah dengan khusyu’ dalam
rumahnya, meskipun orang-orang yang akan membunuhnya semakin mendekatinya.
Al-Qur’an tetap dibacanya dengan khusyu’ sampai ia terbunuh dengan tikaman dari
belakang. Darah mengalir membasahi mushaf Al-Qur’an dipangkuannya, hingga darah
bercucuran ke lantai dengan membentuk tulisan persis sama dengan potongan Q.S
Al-Baqarah ayat 137 yang artinya:
Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka. Dan
Dia-lah Yang Maha Mendengar Lagi Maha Mengetahui.[6]
d.
Tasawuf Ali bin Abi
Thalib
Abu Bakar, Umar, dan Uthman adalah sahabat Nabi yang
pernah menyembah berhala sebelum masuk Islam, tetapi Ali tidak pernah sama
sekali menyembahnya, sehingga ia dijuluki dengan Ali Karrama Allahu Wajhah
(tokoh yang sama sekali tidak pernah menghadap wajahnya menyembah berhala.
Sikapnya sangat lemah-lembut terhadap sesama muslim, tapi sebaliknya ia juga
sangat keras dan berani menghadapi musuh-musuh Islam. Maka ketika Rasulullah
SAW diancam akan dibunuh oleh pemuka Quraisy di Mekkah, ia yang pertama kali
berani menentang pemuka Quraisy secara terang-terangan dengan berkata : “Akulah
yang termasuk orang yang siap membantumu hai Muhammad dari ancaman pemuka
Quraisy”.
Ia diakui sangat dalam ilmunya, terutama ilmu
ma’rifah. Karena itu, Rasulullah SAW pernah bersabda : “Aku adalah pusat kota
ilmu, tetapi Ali adalah pintu gerbangnya”. Artinya, bila manusia hendak mencari
ilmu ma’rifah dari Rasul, maka ia harus lebih dahulu belajar kepada Ali. Oleh
karena itu, hampir seluruh tarekat menyandarkan silsilahnya kepada Nabi dengan
melalui Ali, kecuali tarekat Naqsyabandiyah yang menyandarkan kepada Nabi
melalui Abu Bakar.
Ali juga sangat diakui sikap zuhudnya, dan selalu
mengajurkan agar kehidupan dunia tidak boleh menjadi perjuangan hidup yang
utama. Ia mengatakan, bahwa waktu perjalanan hidup manusia di dunia berjalan
membelakanginya. Semakin lama berjalan, semakin jauh dari kehidupan dunia,
sedangkan kehidupan akherat semakin dekat. Jangan engkau mau menjadi pengabdi
dunia, tetapi jadilah pengabdi akhirat, maka engkau harus menjadi orang yang
bersikap membelakangi kehidupan dunia, lalu menjadi orang yang merindukan
kehidupan akhirat, dengan catatan; jadikanlah hari ini sebagai transit (tempat
menunggu datangnya-kematian), jadikanlah tanah sebagai tikar, air sebagai
minyak wangi dan jauhilah keinginan duniamu. Ketahuilah, barang siapa yang
merindukan surga, ia harus menjauhi keinginan nafsunya, dan barang siapa yang
menolak neraka, ia juga harus menolak hal-hal yang haram. Barang siapa yang
melakukan zuhud, ia harus menghadapi berbagai macam musibah, barang siapa yang
ingin bahagia di akhirat, ia harus bersegera melakukan berbagai macam kebaikan.
Ia mengatakan, bahwa Allah sendiri yang mengenal
aku. Dia tidak dapat digambarkan dengan kata-kata, dan tidak bisa dianalogikan
dengan sesuatu. Posisi Tuhan sangat dekat dari jarak yang jauh, dan sangat jauh
dari jarak yang dekat. Tiada sesuatu di atas-Nya dan tiada sesuatu pula di
bawah-Nya, serta tiada sesuatu juga di depan-Nya. Ia tidak menyerupai sesuatu,
dan tidak pula berasal dari sesuatu, serta tidak diwujudkan oleh sesuatu. Maha
suci bagi Zat yang kurasakan Ada, tetapi tiada sesuatu yang kurasakan kecuali
Dia.
Ali juga sangat takut terhadap siksaan Allah,
berikut perkataannya :
Sesungguhnya sesuatu
yang lebih aku takuti adalah mengikuti hawa nafsu dan angan-angan yang panjang.
Mengikuti hawa nafsu dapat menghalangi datangnya kebenaran, tetapi mengikuti
angan-angan yang panjang dapat melupakan kehidupan akhirat . . . bahwasanya
hari ini adalah hari kerja dan bukan hari pembalasan, tetapi hari esok
(akhirat) adalah hari pembalasan, bukan hari kerja.
Ali mengatakan, seseorang akan bisa mendapatkan
ma’rifah bila seluruh amalannya didasari oleh empat macam kebaikan :[7]
1)
Perkataan, yang
apabila tidak diucapkan untuk mengingat Allah, maka hal tersebut termasuk
kelalaian.
2)
Sikap diam, yang
apabila tidak dilakukan untuk tafakur, maka hal tersebut termasuk kelupaan.
3)
Pandangan, yang
apabila tidak dilakukan untuk memandang ciptaan Allah, maka termasuk kealpaan.
4)
Kerja keras, yang
apabila tidak dilakukan untuk menyembah Allah, maka hal tersebut merupakan
keterputusan dengan Allah.
Selanjutnya ia mengatakan :
Mudah-mudahan Allah memberikan rahmat kepada
hamba-Nya yang telah menjadikan ucapannya untuk berzikir (kepada-Nya), sikap
diamnya untuk bertafakur, pandangannya untuk mengambil pelajaran (dari
pada-Nya), dan upayakan untuk menyembah (kepada-Nya). Dan Dia memberikan
keselamatan manusia dari usaha tangannya dan lidahnya.
2.
Tasuwuf
Pada Masa Abu Hurayrah
Abu Hurayrah dilahirkan
dari kedua orang tuanya yang miskin pada tahun 21 SH/602 M. wafat di Madinah
pada tahun 29 H/679 M, dan dikuburkan di Baqi’.
Ketika masih kecil,
diberi nama Abu Syams oleh kedua orang tuanya. Keduanya membawa berhijrah ke
Madinah pada tahun 7 H, bertepatan dengan kejadian perang Khaybar, dan langsung
menyatakan masuk Islam bersama dengan kedua orang tuanya. Lalu Rasulullah SAW,
mengganti namanya menjadi Abdu Al-Rahman bin Sakhr, dan sering juga dipanggil
Abdullah oleh sahabat lain.
Ia sangat dekat dengan
Rasulullah, lalu dijadikan ajudan yang selalu ikut bersama dengannya, sehingga
di kalangan sahabat, dialah yang paling banyak menerima hadits dari Rasul dan
meriwayatkannya, hingga mencapai 5.374 buah hadits. Jauh lebih banyak dari
hadits yang pernah diriwayatkan oleh Aisyah, istri Nabi.
Baru setahun ikut
bersama dengan Nabi, lalu namanya dipanggil Abu Hurayrah. Ibnu Abdi Al-Barr
menceritakan, bahwa Abdu Al-Rahman bin Sakhr pernah bersama dengan Rasulullah
berjalan keluar dari kota Madinah, tiba-tiba melihat seekor anak kucing sedang
kedinginan. Melihat hal tersebut, Abdu Al-Rahman mengambilnya, lalu memasukkan
ke dalam lengan bajunya untuk dihangatkan. Ketika Nabi melihat sesuatu dalam
lengan baju Abdu Al-Rahman, beliau langsung bertanya, apa ini hai Abdu
Al-Rahman? Ia menjawab, ini adalah seekor anak kucing yang sedang kedinginan.
Nabi langsung memanggilnya dengan sebutan Abu Hurayrah (ayahnya anak kucing).
Rasulullah SAW,
mengangkat Abu Hurayrah menjadi pemimpin kelompok Ahlu Al-Suffah, bukan hanya karena
kedekatannya dengan beliau, tetapi Nabi sendiri mengakui sangat tinggi tingkat
spiritualnya. Amalan sunnah yang selalu dilakukan secara rutin; misalnya
memperbanyak shalat sunah, puasa sunah, hidup secara zuhud dan wara’, tetapi
masih sering bergurau dan bertindak lelucon kepada semua orang, termasuk kepada
anak-anak. Ia sering bergurau dengan mengatakan : Aku dan kedua orang tuaku
datang ke Madinah untuk memeluk agama Islam, demi mencari penghidupan yang
lebih baik. Aku ini orang miskin, maka aku bergabung dengan Rasul untuk mengisi
perutku.
Pernyataan tersebut
dijadikan indicator oleh orang memusuhinya, untuk menempatkan Abu Hurayrah
sebagai seorang yang rakus dan hobi makan dan minum yang berlebihan, lalu
diberi julukan syaykhu al-madirah (guru yang suka minum susu yang
kaluarsa). Karena hinaan yang dilontarkan orang lain kepada dirinya, dijadikan
wahana untuk melatih tingkat kesabarannya. Dan merupakan suatu usaha untuk
menyembunyikan dirinya sebagai seorang sufi besar.
Abu Hurayrah sering
mengakui dirinya sebagai ana harisun, padahal yang dimaksudkan adalah
rakus ilmu. Ini dapat dibuktikan dengan pernyataan Rasulullah SAW : Rasulullah
SAW, mengakui bahwa dia (Abu Hurayrah) rakus terhadap ilmu.
Ia termasuk sahabat
yang dalam ilmunya, karena banyak belajar, melihat dan mendengar beberapa hal
dari Nabi, padahal ia bersama-sama dengan Nabi tidak sampai tiga tahun, karena
pada akhir tahun 8 H, Nabi mengutus Abu Hurayrah untuk mengajar dan berda’wah
di Bahrayn bersama dengan Abu A’la bin Hadrami. Rasulullah menyebutnya sebagai
sahabat yang haus ilmu, dan selalu ingin mengenyangkan batinya dengan berbagai
ilmu yang bersumber dari Rasul. Karena itu, ia selalu bersungguh-sungguh
belajar pada Nabi.
Perjalanan tugasnya
sebagai Amir di Bahrayn, Khalifah Umar pernah memecatnya, karena terlalu banyak
kali melanggar larangan Khalifah; yaitu terlalu banyak meriwayatkan hadits
kepada penduduk Bahrayn, padahal ketika itu sementara Khalifah melarangnya. Dan
ketika Ali menjadi Khalifah, ditawari kembali jabatan serupa di negeri lain,
tetapi ditolaknya tanpa memberi alasan, padahal ketika Muawiyah menawarinya, ia
langsung menerimanya.
Dari sinilah,
sehingga golongan Syi’ah membencinya, karena dianggap pernah bersekongkol
dengan Muawiyah untuk menjatuhkan Ali. Sikap kebencian terhadap Abu Hurayrah,
berkelanjutan hingga ke generasi
Tabi’in, sehingga hadits-hadits yang bersumber dari dirinya selalu ditolak oleh
ulama Syi’ah. Tuduhan ulama Syi’ah yang menganggap dirinya rakus makan dan
minum, serta memeluk Islam dengan sikap yang tidak ikhlas, dapat dibantah oleh
sikap zuhud, wara’ dan tawakkal yang dilakukan sebagai salah seorang sahabat
Ahlu Al-Suffah, yang mementingkan hidup sederhana dan memperbanyak ibadah sunah
serta zikir dan tafakkur terhadap Allah.[8]
Dalam sejarah
disebutkan bahwa Abu Hurayrah tidak mempunyai rumah, hanya tidur di emperan
Masjidil Haram Makkah, pakaiannya hanya satu melekat di badan, makannya tidak
pernah merasa kenyang, bhkn sering tidak makan. Sampai pada suatu hari beliau
duduk-duduk di pinggir jalan sedang ia sangat lapar. Tatkala Abu Bakar lewat di
situ ia bertanya, ayat apa yang harus dibacanya dari Al-Qur’an untuk menahan
laparnya. Abu Bakar tidak menjawab dan berjalan terus. Kemudian lewat pula Umar
bin Khattab, Abu Hurayrah meminta pula padanya, Umar tidak berbuat apa-apa dan
meneruskan perjalanannya. Kemudian lewatlah di situ Rasulullah SAW, Nabi
tersenyum melihat Abu Hurayrah karena mengetahui apa yang terkandung dalam
dirinya dan yang tersirat di mukanya, Nabi mengajak Abu Hurayrah mengikutinya.
Tatkala sampai dirumah, Nabi mengeluarkan sebuah bejana susu dan disuruh
minumnya Abu Hurayrah, sampai kenyang sehingga tidak dapat menghabiskannya.[9]
3.
Tasawuf
Pada Masa Salman Al-Farisi
Ia salah seorang
putra bangsawan dari negeri Isfahan (Persia) yang merantau ke Madinah untuk
menemui Rasul, sebelumnya ia beragama Majusi, lalu berpindah ke agama Nasrani,
karena tidak pernah merasakan ada ketentraman batin pada dirinya dengan memeluk
dua agama tersebut. Akhirnya menemukan ketentraman batin yang luar biasa
setelah bertemu Rasulullah dan menyatakan masuk Islam. Lebih-lebih ketika
bergabung dengan sahabat Ahlu Al-Suffah.
Nabi sangat
mencintainya, sehingga dimasukkan sebagai keluarga besar beliau (Ahlu
al-Bait), dan sering dipanggil dengan Salman al-Khayr atau Salman bin Islam.
Dalam kehidupan
sehari-harinya bersama dengan sahabat Ahlu al-Suffah, sangat menekuni kehidupan
zuhud dan wara’ serta memperbanyak ibadah. Sebagai seorang sufi, ia berpuasa
sunah di siang hari, memperbanyak shalat sunah di malam hari dan memperbanyak
zikir serta tafakkur, tetapi tidak pernah meninggalkan pekerjaanya membuat
tikar dari anyaman daun kurma untuk dijual sebagai biaya hidupnya.
Tingkat spiritualnya
tinggi, sehingga rohnya selalu mengenal beberapa orang. Ketika haris bin ‘Umayr
mengunjunginya untuk meminta didoakan, ia langsung memanggil nama ‘Umayr,
padahal sebelumnya tidak pernah berkenalan dengannya. Tatkala ditanya, dari
mana anda mengetahuinya? Ia mengatakan, rohku sudah lama mengenalnya, sehingga
aku mengetahui nemanya dan tempat tinggalnya.
Sebagai seorang wali,
ia memiliki karamah yang dapat memerintah hewan. Karena itu, apabila Salman
mempunyai hajat untuk mengundang murid-muridnya, hewan liar dan unggas
berdatangan ke rumahnya meminta kepada Salman agar dirinya yang disembelih
untuk disuguhkan kepada tamunya. Ketika ditanya dengan penampilan yang kagum
melihat kejadian yang luar biasa (karamah) yang ditunjukkannya, Salman
menjawab : Hamba yang dekat dengan Allah dan tidak pernah melanggar
perintah-Nya, makhluk-Nya akan menuruti juga perintah hamba-Nya. Ia juga telah
menduduki maqam khullah dan hub, sehingga Nabi pernah
menceritakan, bahwa Allah memerintahkan aku mencintai empat orang kekasihnya;
yaitu Ali bin Abi Thalib, Abu Dharr al-Ghifari, Miqdad bin Aswad, dan Salman
al-Farisi.[10]
BAB III
KESIMPULAN
·
Khulafa Ur-Rasyidin
atau Khalifah Ar-Rasyidin adalah empat orang khalifah (pemimpin) pertama agama Islam,
yang dipercaya oleh umat Islam sebagai penerus kepemimpinan setelah Nabi Muhammad wafat. Empat orang tersebut,
yaitu: Abu Bakar Al-Siddiq, Umar bin Khattab, Uthman bin Affan, dan Ali bin Abi
Thalib.
·
Abu Hurayrah
dilahirkan dari kedua orang tuanya yang miskin pada tahun 21 SH/602 M. wafat di
Madinah pada tahun 29 H/679 M, dan dikuburkan di Baqi’. Rasulullah SAW, mengangkat
Abu Hurayrah menjadi pemimpin kelompok Ahlu Al-Suffah, bukan hanya karena
kedekatannya dengan beliau, tetapi Nabi sendiri mengakui sangat tinggi tingkat
spiritualnya.
·
Salman Al-Farisi dalam
kehidupan sehari-harinya bersama dengan sahabat Ahlu al-Suffah, sangat menekuni
kehidupan zuhud dan wara’ serta memperbanyak ibadah. Tingkat spiritualnya
tinggi, sehingga rohnya selalu mengenal beberapa orang.
DAFTAR
PUSAKA
Mahjuddin.
2010. Akhlak Tasawuf II. Jakarta: PT. Kalam Mulia
Ris’an
Rusli. 2013. Tasawuf dan Tarekat. Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada
Nasution,
Ahmad Bangun dan Rayani Hanum Siregar. Akhlak Tasawuf. Jakarta:
PT.RajaGrafindo Persada
[1] Mahjuddin, Akhlak Tasawuf II, (Jakarta: PT. Kalam Mulia,
2010), hlm.103
[2] Ris’an Rusli, Tasawuf dan Tarekat, (Jakarta: PT.RajaGrafindo
Persada, 2013), hlm.31
[3] Mahjuddin, Op.Cit, hlm.104-105
[4] Ris’an Rusli, Op.Cit, hlm.31
[5] Mahjuddin, Op.Cit, hlm.105-106
[6] Mahjuddin, Op.Cit, hlm.106-107
[7] Ibid, hlm.107-110
[8] Ibid, hlm.110-113
[9] Ahmad Bangun Nasution dan Rayani Hanum Siregar, Akhlak Tasawuf,
(Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada, 2013), hlm.17-18
[10] Mahjuddin, Op.Cit, hlm.113-114