Jumat, 22 April 2016

TASAWUF PADA MASA SAHABAT TERPILIH

Diposting oleh kharisma hanum siichiwell di 19.40 0 komentar


TASAWUF PADA MASA SAHABAT TERPILIH

Makalah ini disusun guna memenuhi tugas :
Mata Kuliah              :   Ilmu Tasawuf
Dosen Pengampu      :   Drs. H. Ismail, M.Ag




 
 










Disusun Oleh :
Kharisma Hanum                      (2023214421)
Kelas : M




PROGRAM STUDI PGMI
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI ( STAIN )
PEKALONGAN
2015


BAB I
PENDAHULUAN

1.        Latar Belakang
Sebenarnya kehidupan sufi sudah terdapat pada diri Nabi Muhammad SAW. Dimana dalam sebuah kehidupan beliau sehari-hari terkesan amat sederhana dan menderita, di samping menghabiskan waktunya untuk beribadah dan selalu mendekatkan diri kepada Allah SWT. Bahkan seperti diketahui, bahwa sebelum beliau diangkat sebagai Rasul Allah, beliau sering kali melakukan kegiatan sufi dengan melakukan uzlah di Gua Hira selama berbulan-bulan lamanya sampai beliau menerima wahyu pertama saaat diangkat sebagai Rasul Allah.
Setelah beliau resmi diangkat sebagai Nabi utusan Allah, keadaan dan cara hidup beliau masih ditandai oleh jiwa dan suasana kerakyatan, meskipun beliau berada dalam lingkaran keadaan hidup dapat terpenuhi semua keinginan lantaran kekuasaannya sebagai Nabi yang menjadi kekasih Tuhannya.
Kehidupan Nabi semacam itu langsung ditiru oleh sahabatnya, Tabi’in dan terus turun-temurun sampai sekarang. Hal seperti itu tampak dalam kehidupan para sahabat beliau, semisal Khalifah Ar-Rasyidin, Abu Hurayrah, dan Salman Al-Farisi.

2.        Rumusan Masalah
a.       Bagaimana Tasawuf pada masa Khalifah Ar-Rasyidin?
b.      Bagaimana Tasawuf pada masa Abu Hurayrah?
c.       Bagaimana Tasawuf pada masa Salman Al-Farisi?

3.        Tujuan
a.       Dapat memahami Tasawuf pada masa Khalifah Ar-Rasyidin.
b.      Dapat memahami Tasawuf pada masa Abu Hurayrah.
c.       Dapat memahami Tasawuf pada masa Salman Al-Farisi.


BAB II
PEMBAHASAN

1.        Tasawuf Pada Masa Khulafa Ur-Rasyidin
Khulafa Ur-Rasyidin atau Khalifah Ar-Rasyidin adalah empat orang khalifah (pemimpin) pertama agama Islam, yang dipercaya oleh umat Islam sebagai penerus kepemimpinan setelah Nabi Muhammad wafat. Empat orang tersebut, yaitu:
a.    Tasawuf Abu Bakar Al-Siddiq
Khalifah Abu Bakar adalah yang pertama kali memberikan contoh perilaku Tasawuf kepada ahli Tarekat dengan mengatakan, bahwa ada tiga macam perilaku manusia yang sangat bertentangan dengan anjuran Al-Qur’an:[1]
1.    Manusia kurang mempercayai ketentuan Allah, padahal Al-Qur’an sendiri menyerukan agar manusia harus bertawakkal, dengan cara menyerahkan segala persoalan kepada Allah, sebagaimana keterangan dalam Q.S Yunus ayat 107.
2.    Manusia selalu lupa mengingat Allah dan lupa mensyukuri nikmat-Nya, padahal Al-Qur’an sendiri menyerukan agar manusia selalu mengingat dan mensyukuri-Nya, sebagaimana keterangan dalam Q.S Al-Baqarah ayat 152.
3.    Manusia selalu bingung mencari rizki siang dan malam, karena mereka melupakan bahwa Allah sendiri yang menanggung rizki seluruh makhluk-Nya, padahal Al-Qur’an sendiri menyampaikan sebagaiman didalam Q.S Hud ayat 6.
Abu Bakar setelah diangkat menjadi khalifah sebagai pengganti Nabi Muhammad dalam memimpin Negara Madinah, ia meninggalkan perdagangannya, agar dapat memusatkan perhatian pada kepentingan umat Islam. Sungguhpun telh menjadi kepala Negara, ia hidup sederhana. Para sahabat mengeluarkan uang dari Baitul Maal untuk keperluan hidupnya sekeluarga. Ketika akan wafat, ia meminta supaya harta yang dikeluarkan dari Baitul Maal untuk sekeluarganya itu dikembalikan.[2]
Ia juga sering menyanjung sikap hidup Nabi Zakariya dengan keluarganya, yang dipandangnya sebagai keluarga yang sangat baik perlakuannya terhadap sesama manusia dan sangat dekat dengan Tuhan-nya. Mereka juga termasuk keluarga yang selalu berdo’a dengan harap dan cemas serta sangat khusyu’ ketika beribadah. Pernyataan ini didasarkan pada keterangan dalam surah al-Anbiya’ ayat 90.
Banyak ungkapan Abu Bakar yang menandai dirinya sebagai sorang sufi dan wali besar, ia berkata :
Sesungguhnya hamba yang sedang membanggakan kelebihan dunia (harta bendanya), maka Allah pasti membencinya, hingga harta benda itu berpisah dengannya.
Ia juga mengingatkan kepada umat Islam dengan mengatakan :
Tiada kebaikan pada perkataan yang didalamnya tidak dikehendaki keridaan Allah, tiada kebaikan pada harta yang tidak dibelanjakan di jalan Allah, tiada kebaikn pada orang yang kebodohannya dapat mengalahkan kesabarannya dan tiada kebaikan bagi orang yang takut pada Allah, tetapi ia masih sering mencela orang lain.
Kemudian berkata lagi :
Maha Zuci Zat yang tidak menjadikan jalan bagi makhluk untuk mengenal-Nya, kecuali (hamba) mengalami ketidak-berdayaan ketika bertemu dengan-Nya.[3]

b.    Tasawuf Umar bin Khattab
Umar bin Khattab adalah khalifah yang mengalahkan kerajaan Bizantium dalam peperangan di Mesir, Palestina, Suria, dan Irak. Dia menghancurkan kerajaan Persia sehingga menjadikan Madinah yang semula Negara kecil menjadi Negara besar yang disegani Bizantium. Sungguhpun ia telah menjadi kepala Negara besar, ia tetap hidup sederhana dan zahid dari kemewahan hidup.[4]
Umar juga sangat memperhatikan anjuran beberapa ayat Al-Qur’an mengenai larangan terlalu mencintai kehidupan dunia, dan selalu mempraktekkan ajaran tersebut dalam kehidupan sehari-harinya. Hafsah (putri Umar bin Khattab) sering menceritakan sikap tawadu’ dan kesederhanaan hidup ayahnya, dan menceritakan pula bahwa ia sering duduk sendirian menangis, karena sering mengingat masa lalunya yang penuh dengan kejahilan, sehingga selalu terlontar dari mulutnya kalimat istighfar sepanjang hari dan malam. Sebagai seorang sufi dan wali besar, ia selalu melakukan shalat malam hingga menjelang waktu subuh. Dan selalu membangunkan keluarganya untuk melakukan shalat subuh tepat waktu, dengan mengucapkan al-salah, al-salah, al-salah, kemudian membaca ayat 132 dari Surah Taha.
Sebagai seorang kepala pemerintahan, ia sangat sibuk mengurusi nasib masyarakat, dan sebagai pimpinan agama, sibuk memperhatikan pengembangan agama Islam yang masih sering mendapatkan ancaman dari orang Yahudi dan Nasrani, tetapi kehidupan spiritualnya tetap ia malkan, sehingga di siang hari sibuk bekerja untuk kepentingan masyarakat dan agama, tetapi di malam hari tetap menjalankan shalat sunnah sepanjang malam. Maka Umar termasuk salah seorang sahabat yang dijuluki sebagai fursanu al-nahar wa-ruhbanu al-lail (penunggang kuda di siang hari dan penyembah yang khusu’ di malam hari).
Ia juga selalu menganjurkan, agar manusia tidak boleh lengah dan harus selalu waspada terhadap kemungkinan pengaruh yang akan menjadikan dirinya lupa terhadap Allah, harus selalu mawas diri dan mampu mengevaluasi amalan yang pernah dilakukannya.
Umar bin Khattab berkata :
Evaluasilah dirimu sebelum engkau diperiksa (di hari kiamat), timbanglah amalanmu sebelum ditimbang (di hari kiamat). Bahwasanya dengan cara demikian, akan lebih mudah menghitung amalanmu di hari kiamat dari pada menghitung amalanmu pada hari ini.[5]




c.    Tasawuf Uthman bin Affan
Uthman merupakan salah seorang sahabat penyandang dana bagi seluruh pembiayaan pengembangan Islam di Madinah, termasuk sering memberikan bantuan dana kepada prajurit yang akan dikirim ke medan perang. Ia sering mengatakan, “aku telah mengumpulkan harta, bukan karena aku ingin memperkaya diriku, tetapi semata-mata karena Islam sangat membutuhkannya dan aku berkewajiban memberikan infaq kepada kepentingan agama, dan kurasakan pula kenikmatan batin di setiap aku telah membelanjakan harta tersebut di jalan Allah.
Sebagai seorang Sufi dan wali besar, ia tidak pernah menghitung berapa banyak harta yang dikeluarkannya untuk agama dan masyarakat. Karena harta tersebut, dianggap milik Allah, dan akan dikembalikan ke jalan Allah. Zuhudnya bukan meninggalkan harta benda, tetapi meninggalkan pengaruh negative dari pemilikan harta benda tersebut; misalnya meninggalkan kesombongan akibat dari pengaruh harta benda, meninggalkan kekikiran dan meninggalkan kemubazziran dan sebagainya.
Uthman sering menangis bila sedang membaca Al-Qur’an atau mendengarkan dibaca, sampai sahabat lain sering melihat air matanya bercucuran menetes melalui jenggotnya yang lebat. Begitu juga bila berjalan melalui pekuburan, ia tidak bisa menahan air matanya, karena selalu membayangkan betapa menakutkannya kehidupan di Padang Makhsyar nanti.
Ia juga sangat dalam rasa tawakkalnya, dan tidak pernah merasa takut kepada siapapun kecuali terhadap Allah. Ketika disandera oleh penentangnya selama 49 hari dirumahnya, ia tidak pernah merasa takut sedikitpun. Ia masih tetap beribadah dengan khusyu’ dalam rumahnya, meskipun orang-orang yang akan membunuhnya semakin mendekatinya. Al-Qur’an tetap dibacanya dengan khusyu’ sampai ia terbunuh dengan tikaman dari belakang. Darah mengalir membasahi mushaf Al-Qur’an dipangkuannya, hingga darah bercucuran ke lantai dengan membentuk tulisan persis sama dengan potongan Q.S Al-Baqarah ayat 137 yang artinya:
Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka. Dan Dia-lah Yang Maha Mendengar Lagi Maha Mengetahui.[6]

d.   Tasawuf Ali bin Abi Thalib
Abu Bakar, Umar, dan Uthman adalah sahabat Nabi yang pernah menyembah berhala sebelum masuk Islam, tetapi Ali tidak pernah sama sekali menyembahnya, sehingga ia dijuluki dengan Ali Karrama Allahu Wajhah (tokoh yang sama sekali tidak pernah menghadap wajahnya menyembah berhala. Sikapnya sangat lemah-lembut terhadap sesama muslim, tapi sebaliknya ia juga sangat keras dan berani menghadapi musuh-musuh Islam. Maka ketika Rasulullah SAW diancam akan dibunuh oleh pemuka Quraisy di Mekkah, ia yang pertama kali berani menentang pemuka Quraisy secara terang-terangan dengan berkata : “Akulah yang termasuk orang yang siap membantumu hai Muhammad dari ancaman pemuka Quraisy”.
Ia diakui sangat dalam ilmunya, terutama ilmu ma’rifah. Karena itu, Rasulullah SAW pernah bersabda : “Aku adalah pusat kota ilmu, tetapi Ali adalah pintu gerbangnya”. Artinya, bila manusia hendak mencari ilmu ma’rifah dari Rasul, maka ia harus lebih dahulu belajar kepada Ali. Oleh karena itu, hampir seluruh tarekat menyandarkan silsilahnya kepada Nabi dengan melalui Ali, kecuali tarekat Naqsyabandiyah yang menyandarkan kepada Nabi melalui Abu Bakar.
Ali juga sangat diakui sikap zuhudnya, dan selalu mengajurkan agar kehidupan dunia tidak boleh menjadi perjuangan hidup yang utama. Ia mengatakan, bahwa waktu perjalanan hidup manusia di dunia berjalan membelakanginya. Semakin lama berjalan, semakin jauh dari kehidupan dunia, sedangkan kehidupan akherat semakin dekat. Jangan engkau mau menjadi pengabdi dunia, tetapi jadilah pengabdi akhirat, maka engkau harus menjadi orang yang bersikap membelakangi kehidupan dunia, lalu menjadi orang yang merindukan kehidupan akhirat, dengan catatan; jadikanlah hari ini sebagai transit (tempat menunggu datangnya-kematian), jadikanlah tanah sebagai tikar, air sebagai minyak wangi dan jauhilah keinginan duniamu. Ketahuilah, barang siapa yang merindukan surga, ia harus menjauhi keinginan nafsunya, dan barang siapa yang menolak neraka, ia juga harus menolak hal-hal yang haram. Barang siapa yang melakukan zuhud, ia harus menghadapi berbagai macam musibah, barang siapa yang ingin bahagia di akhirat, ia harus bersegera melakukan berbagai macam kebaikan.
Ia mengatakan, bahwa Allah sendiri yang mengenal aku. Dia tidak dapat digambarkan dengan kata-kata, dan tidak bisa dianalogikan dengan sesuatu. Posisi Tuhan sangat dekat dari jarak yang jauh, dan sangat jauh dari jarak yang dekat. Tiada sesuatu di atas-Nya dan tiada sesuatu pula di bawah-Nya, serta tiada sesuatu juga di depan-Nya. Ia tidak menyerupai sesuatu, dan tidak pula berasal dari sesuatu, serta tidak diwujudkan oleh sesuatu. Maha suci bagi Zat yang kurasakan Ada, tetapi tiada sesuatu yang kurasakan kecuali Dia.
Ali juga sangat takut terhadap siksaan Allah, berikut perkataannya :
Sesungguhnya sesuatu yang lebih aku takuti adalah mengikuti hawa nafsu dan angan-angan yang panjang. Mengikuti hawa nafsu dapat menghalangi datangnya kebenaran, tetapi mengikuti angan-angan yang panjang dapat melupakan kehidupan akhirat . . . bahwasanya hari ini adalah hari kerja dan bukan hari pembalasan, tetapi hari esok (akhirat) adalah hari pembalasan, bukan hari kerja.
Ali mengatakan, seseorang akan bisa mendapatkan ma’rifah bila seluruh amalannya didasari oleh empat macam kebaikan :[7]
1)   Perkataan, yang apabila tidak diucapkan untuk mengingat Allah, maka hal tersebut termasuk kelalaian.
2)   Sikap diam, yang apabila tidak dilakukan untuk tafakur, maka hal tersebut termasuk kelupaan.
3)   Pandangan, yang apabila tidak dilakukan untuk memandang ciptaan Allah, maka termasuk kealpaan.
4)   Kerja keras, yang apabila tidak dilakukan untuk menyembah Allah, maka hal tersebut merupakan keterputusan dengan Allah.
Selanjutnya ia mengatakan :
Mudah-mudahan Allah memberikan rahmat kepada hamba-Nya yang telah menjadikan ucapannya untuk berzikir (kepada-Nya), sikap diamnya untuk bertafakur, pandangannya untuk mengambil pelajaran (dari pada-Nya), dan upayakan untuk menyembah (kepada-Nya). Dan Dia memberikan keselamatan manusia dari usaha tangannya dan lidahnya.

2.        Tasuwuf Pada Masa Abu Hurayrah
Abu Hurayrah dilahirkan dari kedua orang tuanya yang miskin pada tahun 21 SH/602 M. wafat di Madinah pada tahun 29 H/679 M, dan dikuburkan di Baqi’.
Ketika masih kecil, diberi nama Abu Syams oleh kedua orang tuanya. Keduanya membawa berhijrah ke Madinah pada tahun 7 H, bertepatan dengan kejadian perang Khaybar, dan langsung menyatakan masuk Islam bersama dengan kedua orang tuanya. Lalu Rasulullah SAW, mengganti namanya menjadi Abdu Al-Rahman bin Sakhr, dan sering juga dipanggil Abdullah oleh sahabat lain.
Ia sangat dekat dengan Rasulullah, lalu dijadikan ajudan yang selalu ikut bersama dengannya, sehingga di kalangan sahabat, dialah yang paling banyak menerima hadits dari Rasul dan meriwayatkannya, hingga mencapai 5.374 buah hadits. Jauh lebih banyak dari hadits yang pernah diriwayatkan oleh Aisyah, istri Nabi.
Baru setahun ikut bersama dengan Nabi, lalu namanya dipanggil Abu Hurayrah. Ibnu Abdi Al-Barr menceritakan, bahwa Abdu Al-Rahman bin Sakhr pernah bersama dengan Rasulullah berjalan keluar dari kota Madinah, tiba-tiba melihat seekor anak kucing sedang kedinginan. Melihat hal tersebut, Abdu Al-Rahman mengambilnya, lalu memasukkan ke dalam lengan bajunya untuk dihangatkan. Ketika Nabi melihat sesuatu dalam lengan baju Abdu Al-Rahman, beliau langsung bertanya, apa ini hai Abdu Al-Rahman? Ia menjawab, ini adalah seekor anak kucing yang sedang kedinginan. Nabi langsung memanggilnya dengan sebutan Abu Hurayrah (ayahnya anak kucing).
Rasulullah SAW, mengangkat Abu Hurayrah menjadi pemimpin kelompok Ahlu Al-Suffah, bukan hanya karena kedekatannya dengan beliau, tetapi Nabi sendiri mengakui sangat tinggi tingkat spiritualnya. Amalan sunnah yang selalu dilakukan secara rutin; misalnya memperbanyak shalat sunah, puasa sunah, hidup secara zuhud dan wara’, tetapi masih sering bergurau dan bertindak lelucon kepada semua orang, termasuk kepada anak-anak. Ia sering bergurau dengan mengatakan : Aku dan kedua orang tuaku datang ke Madinah untuk memeluk agama Islam, demi mencari penghidupan yang lebih baik. Aku ini orang miskin, maka aku bergabung dengan Rasul untuk mengisi perutku.
Pernyataan tersebut dijadikan indicator oleh orang memusuhinya, untuk menempatkan Abu Hurayrah sebagai seorang yang rakus dan hobi makan dan minum yang berlebihan, lalu diberi julukan syaykhu al-madirah (guru yang suka minum susu yang kaluarsa). Karena hinaan yang dilontarkan orang lain kepada dirinya, dijadikan wahana untuk melatih tingkat kesabarannya. Dan merupakan suatu usaha untuk menyembunyikan dirinya sebagai seorang sufi besar.
Abu Hurayrah sering mengakui dirinya sebagai ana harisun, padahal yang dimaksudkan adalah rakus ilmu. Ini dapat dibuktikan dengan pernyataan Rasulullah SAW : Rasulullah SAW, mengakui bahwa dia (Abu Hurayrah) rakus terhadap ilmu.
Ia termasuk sahabat yang dalam ilmunya, karena banyak belajar, melihat dan mendengar beberapa hal dari Nabi, padahal ia bersama-sama dengan Nabi tidak sampai tiga tahun, karena pada akhir tahun 8 H, Nabi mengutus Abu Hurayrah untuk mengajar dan berda’wah di Bahrayn bersama dengan Abu A’la bin Hadrami. Rasulullah menyebutnya sebagai sahabat yang haus ilmu, dan selalu ingin mengenyangkan batinya dengan berbagai ilmu yang bersumber dari Rasul. Karena itu, ia selalu bersungguh-sungguh belajar pada Nabi.
Perjalanan tugasnya sebagai Amir di Bahrayn, Khalifah Umar pernah memecatnya, karena terlalu banyak kali melanggar larangan Khalifah; yaitu terlalu banyak meriwayatkan hadits kepada penduduk Bahrayn, padahal ketika itu sementara Khalifah melarangnya. Dan ketika Ali menjadi Khalifah, ditawari kembali jabatan serupa di negeri lain, tetapi ditolaknya tanpa memberi alasan, padahal ketika Muawiyah menawarinya, ia langsung menerimanya.
Dari sinilah, sehingga golongan Syi’ah membencinya, karena dianggap pernah bersekongkol dengan Muawiyah untuk menjatuhkan Ali. Sikap kebencian terhadap Abu Hurayrah, berkelanjutan  hingga ke generasi Tabi’in, sehingga hadits-hadits yang bersumber dari dirinya selalu ditolak oleh ulama Syi’ah. Tuduhan ulama Syi’ah yang menganggap dirinya rakus makan dan minum, serta memeluk Islam dengan sikap yang tidak ikhlas, dapat dibantah oleh sikap zuhud, wara’ dan tawakkal yang dilakukan sebagai salah seorang sahabat Ahlu Al-Suffah, yang mementingkan hidup sederhana dan memperbanyak ibadah sunah serta zikir dan tafakkur terhadap Allah.[8]
Dalam sejarah disebutkan bahwa Abu Hurayrah tidak mempunyai rumah, hanya tidur di emperan Masjidil Haram Makkah, pakaiannya hanya satu melekat di badan, makannya tidak pernah merasa kenyang, bhkn sering tidak makan. Sampai pada suatu hari beliau duduk-duduk di pinggir jalan sedang ia sangat lapar. Tatkala Abu Bakar lewat di situ ia bertanya, ayat apa yang harus dibacanya dari Al-Qur’an untuk menahan laparnya. Abu Bakar tidak menjawab dan berjalan terus. Kemudian lewat pula Umar bin Khattab, Abu Hurayrah meminta pula padanya, Umar tidak berbuat apa-apa dan meneruskan perjalanannya. Kemudian lewatlah di situ Rasulullah SAW, Nabi tersenyum melihat Abu Hurayrah karena mengetahui apa yang terkandung dalam dirinya dan yang tersirat di mukanya, Nabi mengajak Abu Hurayrah mengikutinya. Tatkala sampai dirumah, Nabi mengeluarkan sebuah bejana susu dan disuruh minumnya Abu Hurayrah, sampai kenyang sehingga tidak dapat menghabiskannya.[9]

3.        Tasawuf Pada Masa Salman Al-Farisi
Ia salah seorang putra bangsawan dari negeri Isfahan (Persia) yang merantau ke Madinah untuk menemui Rasul, sebelumnya ia beragama Majusi, lalu berpindah ke agama Nasrani, karena tidak pernah merasakan ada ketentraman batin pada dirinya dengan memeluk dua agama tersebut. Akhirnya menemukan ketentraman batin yang luar biasa setelah bertemu Rasulullah dan menyatakan masuk Islam. Lebih-lebih ketika bergabung dengan sahabat Ahlu Al-Suffah.
Nabi sangat mencintainya, sehingga dimasukkan sebagai keluarga besar beliau (Ahlu al-Bait), dan sering dipanggil dengan Salman al-Khayr atau Salman bin Islam.
Dalam kehidupan sehari-harinya bersama dengan sahabat Ahlu al-Suffah, sangat menekuni kehidupan zuhud dan wara’ serta memperbanyak ibadah. Sebagai seorang sufi, ia berpuasa sunah di siang hari, memperbanyak shalat sunah di malam hari dan memperbanyak zikir serta tafakkur, tetapi tidak pernah meninggalkan pekerjaanya membuat tikar dari anyaman daun kurma untuk dijual sebagai biaya hidupnya.
Tingkat spiritualnya tinggi, sehingga rohnya selalu mengenal beberapa orang. Ketika haris bin ‘Umayr mengunjunginya untuk meminta didoakan, ia langsung memanggil nama ‘Umayr, padahal sebelumnya tidak pernah berkenalan dengannya. Tatkala ditanya, dari mana anda mengetahuinya? Ia mengatakan, rohku sudah lama mengenalnya, sehingga aku mengetahui nemanya dan tempat tinggalnya.
Sebagai seorang wali, ia memiliki karamah yang dapat memerintah hewan. Karena itu, apabila Salman mempunyai hajat untuk mengundang murid-muridnya, hewan liar dan unggas berdatangan ke rumahnya meminta kepada Salman agar dirinya yang disembelih untuk disuguhkan kepada tamunya. Ketika ditanya dengan penampilan yang kagum melihat kejadian yang luar biasa (karamah) yang ditunjukkannya, Salman menjawab : Hamba yang dekat dengan Allah dan tidak pernah melanggar perintah-Nya, makhluk-Nya akan menuruti juga perintah hamba-Nya. Ia juga telah menduduki maqam khullah dan hub, sehingga Nabi pernah menceritakan, bahwa Allah memerintahkan aku mencintai empat orang kekasihnya; yaitu Ali bin Abi Thalib, Abu Dharr al-Ghifari, Miqdad bin Aswad, dan Salman al-Farisi.[10]



BAB III
KESIMPULAN

·           Khulafa Ur-Rasyidin atau Khalifah Ar-Rasyidin adalah empat orang khalifah (pemimpin) pertama agama Islam, yang dipercaya oleh umat Islam sebagai penerus kepemimpinan setelah Nabi Muhammad wafat. Empat orang tersebut, yaitu: Abu Bakar Al-Siddiq, Umar bin Khattab, Uthman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib.
·           Abu Hurayrah dilahirkan dari kedua orang tuanya yang miskin pada tahun 21 SH/602 M. wafat di Madinah pada tahun 29 H/679 M, dan dikuburkan di Baqi’. Rasulullah SAW, mengangkat Abu Hurayrah menjadi pemimpin kelompok Ahlu Al-Suffah, bukan hanya karena kedekatannya dengan beliau, tetapi Nabi sendiri mengakui sangat tinggi tingkat spiritualnya.
·           Salman Al-Farisi dalam kehidupan sehari-harinya bersama dengan sahabat Ahlu al-Suffah, sangat menekuni kehidupan zuhud dan wara’ serta memperbanyak ibadah. Tingkat spiritualnya tinggi, sehingga rohnya selalu mengenal beberapa orang.
DAFTAR PUSAKA

Mahjuddin. 2010. Akhlak Tasawuf II. Jakarta: PT. Kalam Mulia
Ris’an Rusli. 2013. Tasawuf dan Tarekat. Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada
Nasution, Ahmad Bangun dan Rayani Hanum Siregar. Akhlak Tasawuf. Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada


[1] Mahjuddin, Akhlak Tasawuf II, (Jakarta: PT. Kalam Mulia, 2010), hlm.103
[2] Ris’an Rusli, Tasawuf dan Tarekat, (Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada, 2013), hlm.31
[3] Mahjuddin, Op.Cit, hlm.104-105
[4] Ris’an Rusli, Op.Cit, hlm.31
[5] Mahjuddin, Op.Cit, hlm.105-106
[6] Mahjuddin, Op.Cit, hlm.106-107
[7] Ibid, hlm.107-110
[8] Ibid, hlm.110-113
[9] Ahmad Bangun Nasution dan Rayani Hanum Siregar, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada, 2013), hlm.17-18
[10] Mahjuddin, Op.Cit, hlm.113-114
 

Siichiwell Blog © 2010 Web Design by Ipietoon Blogger Template and Home Design and Decor